![]() |
iPrice. |
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Tahun 2040, Indonesia tak lagi mempekerjakan manusia
dalam sektor apa pun. Industri, pemerintahan, bahkan di sektor paling sederhana
seperti perkebunan pun tak lagi ada campur keringat manusia. Bau napasnya saja
tidak terdeteksi pada susunan besi dan baja yang sepersekian koma sepersekian
detik menyemburkan asap keabu-abuan.
Saat menginjakkan kaki ke sebuah supermarket, penyambutan
‘selamat datang’ memang masih terdengar, layaknya manusia tetapi bukan, sudah
berupa robot dengan sensor pemindaian kelas atas, atau bukan robot manusia
melainkan hanya suara menggaung dari pancaran sonar yang menabrakkan diri pada
objek berupa makhluk hidup. Bahkan tak ayal, kucing yang iseng lewat sekalipun
mendapatkan ucapan selamat datang’. Sehingga ketika sebuah tangan mengulur ke
arah pintu, maka akan terbuka dengan sendirinya, membuat celingak-celinguk akan
suara yang entah dari mana datangnya.
Jika kita berpikir akan bertegur sapa atau bernegosiasi soal
harga dengan penjual, sungguh sangat tidak etis. Tempat perbelanjaan sebesar
itu, dengan sambutan robot di depan pintu, tentu bilik-bilik pakaian, sepatu,
dan lain-lainnya sama sekali menggunakan tenaga manusia.
Bisa dibayangkan, setiap satu item di atas rak-rak atau
meja telah dilengkapi dengan sinar ultraviolet serta sensor pararel, sehingga
alarm akan berbunyi dan petugas-petugas robot bergegas menghampiri jika calon
pembeli berani-beraninya mengangkat barang tanpa menyodorkan ATM pada mesin
pembayaran otomatis di dekatnya.
# # # #
“Busyeet ...,” geramku sembari menepuk jidat.
Kulempar begitu saja selimut yang membalut hangat tubuhku
lalu bergegas mengganti pakaian selayak mungkin. Setelah membasahi muka,
kukenakan jas, memasang dasi sekenanya, dan meraih tas hitam ala-ala pekerja
kantoran. Kulesatkan kaki–setelah sepasang pantofel epik melekat–ke jalanan
untuk mencari-cari kendaraan.
Sembari berlari kecil, aku merutuki diri sendiri. Sial.
Hari pertama kerja, bisa-bisanya diriku bangun kesiangan. Untungnya,
berkas-berkas dan tetek bengeknya telah kusiapkan dari tadi malam.
Pada tikungan pertama, sebuah bus mini terlihat sedang
menunngui penumpangnya. Sepuluh langkah lagi, transportasi itu mulai berjalan
pelan, kulesatkan kaki lalu berancang-ancang melompat ketika jarak antara
tangganya berdekatan. Hap. Aku menghela napas. Ternyata keberuntungan
masih berpihak kepadaku. Perjalanan lima belas menit dengan bus mini ini tak ‘kan
membuatku ditegur sesampainya di tempat kerja.
Meskipun semua tempat duduk telah terisi penuh, aku bersyukur
bisa bergelantungan di antara mereka demi sampai tepat waktu di hari pertamaku.
Nampaknya semua orang akan melalui masa sibuk hari ini, kulihat pakaian bersih
dan rapi serta aroma khas menyentuh lembut hidungku. Berbeda dengan diriku yang
jangankan mandi saja tak sempat. Ah, sungguh buruk hariku ini.
Bus masih berjalan pelan, beberapa detik kemudian berhenti
mendadak. Ada apa. Apakah ada yang turun. Namun tidak pergerakan pada
tiap-tiap penumpang, justru pada bagian kemudi menyala-nyala merah, lalu kepala
sang awak berputar-putar sembari memberi peringatan bahwa alat transportasinya
kelebihan muatan.
“Overweight ... overweight ...,” ucapnya berkali-kali.
Para penumpang saling adu pandang, ada juga yang
memalingkan wajah setelah dari belakang. Aku pun tergelitik untuk ikut menengok,
ternyata dua laki-laki dengan santainya duduk di atas lantai bus tanpa
mengindahkan peringatan yang menyala-nyala.
Tak ada kasak-kusuk protes, hanya tarikan napas dan
dengusan tanpa kata. Sedang nada attention dari mulut awak yang mirip boneka
kayu dalam film ‘Pinokio’ itu terus saja berdengung-dengung. Sempat kulirik
monitor di sampingnya, menampilkan sebuah grafik piramida terbalik yang menunjukkan
angka 12 dengan warna merah yang berkedip-kedip. Artinya batas maksimum
kapasitas penumpang ialah 12 orang, lantas kudapati satu tempat tangan bergelantung,
sedangkan ada dua orang yang baru saja naik. Itu berarti salah satu dari mereka
harus turun, atau jika terpaksa maka kedua-duanya saja yang turun.
Waktu terus berjalan, dan tidak ada tanda-tanda seseorang
pun hendak turun dari bus. Awak robot itu terus berkoar-koar, lampu-lampu peringatan
di tempat kemudi tak hentinya berdengung-dengung. Tetap, tak ada perubahan. Suasana
tetap senyap. Hanya orang-orangan besi itu yang ribut-ribut sendiri. Overweight
... overweight ....
Orang-orang mulai lelah dan gusar. Sementara aku, kakiku
sendiri telah bergetar macam anak SD yang tak kuat ketika hormat pada upacara bendera.
Sesekali mereka menilik jam tangan lalu memutar bola mata, kesal. Melihat itu,
aku pun ikut-ikutan melirik jam di tanganku, lima belas menit terbuang sudah. Aku
mengusap muka kasar, lalu mengacak-acak rambut, tanpa tahu harus berbuat apa.
Sedangkan lampu-lampu itu terus menyala-nyala, hingga
perlahan orang-orang yang bergelantungan bersamaku bergerak-gerak, nampak memberi
jalan. Benar saja, iris mataku mendapati seseorang membelah orang-orang yang berdiri,
berjalan maju dengan agak kewalahan.
Kedua mataku terbelalak ketika orang itu sampai di
depanku. Perlahan, tanpa kata. Namun dalam menyayat jiwa. Seabrek duniaku rasanya
hilang. Tak lagi kuribut-ribut dengan masalah jarum jam yang semakin menjauhi
angka. Tak lagi kuacuhkan strap di hari pertama kerja. Semua netra terpanah
pada pemandangan satu ini. Lelaki paruh baya itu terus menyeret kakinya
menuruni tangga demi tangga, melewati dua pemuda yang turut melongo tanpa dosa.
Lagi-lagi mataku dibuat tercengang ketika sadar bahwa
satu dari kedua tangannya berbeda dari yang lain. Bengkok dan jumlahnya tak
genap.
Pintu bus mini ini mulai menutup setelah satu lebihan
muatan telah berkurang. Lampu-lampu tak lagi menyala, dan awak robot itu tak
lagi merengek-rengek. Perlahan bus pun merayap bersamaan sebuah senyuman yang
telempar dari balik kacanya. Yah, orang itu tersenyum.
Gresik, 29/8/21.